Wae Rebo merupakan sebuah desa tradisional dan terpencil. Desa ini berada di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan terkenal sebagai Desa di atas awan. Desa ini berada pada ketinggian 1000 mdpl. Perbukitan – perbukitan yang sangat asri mengelilingi desa ini. Untuk mencapai Wae Rebo, Duta traveller harus menempuh perjalanan sekitar 6 km ke Desa Denge dengan menggunakan motor. Perjalanan dari Denge menuju Wae Rebo membutuhkan waktu pendakian sekitar 3 jam dengan menyusuri daerah terpencil, hutan lebat yang belum terjamah, menyebrangi sungai serta melintasi bibir jurang.

Desa Adat Wae Rebo pernah mendapat penghargaan Asia Pasific Award Heritage Conservation dari UNESCO pada tahun 2012. Penghargaan ini merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya. Rumah adat desa Wae Rebo terkenal dengan keasliannya karena memiliki bentuk yang masih sama persis dengan arsitektur rumah adat leluhurnya. Desa Adat ini berada pada wilayah aman gempa dan hutan liar, sehingga desa ini aman dari bencana dan menjadi tempat berlindung dari hewan buas. Pada umumnya, wisatawan yang berkunjung ke sini akan jatuh cinta dengan keunikan budaya, keramahan warga, dan kearifan lokal yang masih kental.

Desa Adat Tertinggi dengan Arsitektur yang Unik

Wae Rebo merupakan salah satu desa tertinggi di Indonesia. Desa Sembungan, Argosari, dan Ranu Pani terkenal sebagai desa tertinggi P. Jawa. Desa ini adalah desa tertinggi di luar Jawa. Setiap pagi, kabut tipis akan turun perlahan-lahan dari perbukitan sekitar dan menyelimuti seluruh desa dengan kabut. Hal itu karena desa ini berada pada ketinggian 1.200 mdpl. Untuk mencapai desa ini, diperlukan trekking selama 2-3 jam melalui medan yang cukup sulit.

Walaupun perjalanan ke desa atas awan ini membutuhkan perjuangan, namun desa ini sangat terkenal, terutama oleh wisatawan asing dari Eropa. Mereka tertarik dengan desain arsitektur bangunan yang unik dan eksotis. Desa ini hanya terdiri dari 7 buah rumah dan telah bertahan selama 19 generasi. Hal inilah yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan, khususnya wisatawan dari mancanegara. Mereka pada umumnya sangat penasaran dengan rumah adat yang terkenal dengan sebutan Mbaru Niang.

Mbaru Niang

Mbaru Niang merupakan rumah yang terbuat dari kayu dengan atap berupa anyaman ilalang. Bentuk Mbaru Niang mengerucut ke atas, menjadikan sebagai bentuk arsitektur tradisional yang sangat unik. Mbaru Niang terdiri dari lima lantai dengan atap daun lontar yang tertutupi ijuk pada bagian luarnya. Tujuh Mbaru Niang ini berada pada lahan luas yang hijau dengan bukit-bukit indah mengelilinginya. Enam hingga delapan keluarga menghuni satu Mbaru Niang.

Desa Adat Wae Rebo terdiri dari 44 keluarga dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Mereka menanam kopi, cengkeh, dan umbi-umbian. Untuk mencukupi kebutuhan air bersih, masyarakat setempat memanfaatkan mata air yang berasal dari pegunungan. Mata air ini berperan dalam setiap segi kehidupan, termasuk untuk mengairi lahan perkebunan. Oleh karena itu, para penduduk mengadakan upacara adat Penti yang berhubungan dengan air. Menurut masyarakat setempat, air berperan sebagai pemberi kehidupan dan menjadi simbol keturunan yang tidak pernah berhenti mengalir.

Penduduk Wae Rebo masih Keturunan Minang

Meskipun secara administrative, desa ini termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Timur, tetapi warga desanya mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Minang dari Sumatera Barat. Nenek moyang penduduk Wae Rebo bernama Empo Maro. Ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat.

Menurut cerita, Empo Maro dan keluarganya berlayar dari Sumatera ke Labuan Bajo. Empo Maro sempat mengembara ke Waraloka, Mangapa’ang, Todo, Papo, Liho, Mofo, Ndara, Golo Damu. Singkat cerita, Maro dan keluarganya tiba di Golo Pando, kemudian menetap secara permanen di Golo Pando. Kelak, Golo Pondo ini berganti nama menjadi Wae Rebo. Walaupun penduduk desa ini merupakan keturunan Minang, tetapi nama-nama penduduknya tidak seperti nama orang Minang pada umumnya.